Norkhalis Majid Aktivis Ambin Demokrasi
Poto : Istimewa
Banjarmasin, Peoplenews.id — Bayangkan sebuah kota tanpa petugas kebersihan, tanpa pengangkutan sampah, tanpa layanan dasar seperti pendidikan, kesehatan, bahkan pemerintahan. Semua ditutup, dengan dalih sanksi administratif. Semua dikembalikan pada warga—atas nama tanggung jawab pribadi. Kota yang dulu hiruk-pikuk karena geliat pelayanan publik, kini diam dan kotor. Sunyi oleh ketidakpedulian sistem yang seharusnya hadir melayani. Kamis (17/4)
Adalah sebuah sindiran tajam, atau bisa dikatakan satire pahit, yang belakangan menggema dari sebagian masyarakat Banjarmasin: “Tutup semuanya, dan kita ampihan.” Sebuah ungkapan lokal yang merujuk pada kondisi pasrah, menyerah, ketika tanggung jawab kolektif dilepaskan begitu saja oleh mereka yang seharusnya paling bertanggung jawab.
Pemicunya? Penutupan sementara Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Basirih sebagai buntut dari sanksi administratif Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Pemerintah kota seperti melempar handuk, memilih jalan paling mudah: menyetop layanan. Akibatnya, tumpukan sampah tak terangkut, bau menyengat, dan potensi krisis lingkungan yang merembet ke masalah kesehatan warga.
Ironisnya, masyarakat malah disalahkan karena tidak memilah sampah sejak dari rumah. Sebuah tuduhan yang, meski ada benarnya, terasa timpang jika diucapkan oleh institusi yang justru telah gagal menyusun sistem pengelolaan sampah yang terintegrasi, edukatif, dan berkelanjutan.
Lalu muncul pertanyaan retoris—namun masuk akal: Jika sanksi atas kegagalan lembaga menyebabkan layanan kebersihan dihentikan, kenapa tidak sekalian tutup sekolah, kampus, rumah sakit, bahkan balai kota? Jika standar pelayanan bisa dikesampingkan demi menanggapi teguran internal, maka tak ada lagi batas antara pengelolaan birokrasi dan pembiaran struktural.
Aktivis Ambin Demokrasi, Norkhalis Majid, menilai tindakan penghentian layanan kebersihan adalah bentuk kekeliruan struktural dan pengingkaran terhadap tanggung jawab konstitusional.
“Ini bukan hanya tentang sampah, tapi tentang kegagalan memahami esensi pelayanan publik. Sanksi dari KLHK adalah urusan administratif, bukan alasan untuk menyandera hak warga atas kota yang bersih. Jangan sampai warga dijadikan korban atas konflik antarlembaga dalam tubuh pemerintah sendiri,” ujarnya.
Norkhalis juga mengingatkan agar pemerintah tidak menjadikan sanksi sebagai panggung pencitraan.
“Jangan sampai ini dimanfaatkan jadi narasi heroik seolah pemerintah berjibaku untuk rakyat. Yang rakyat butuh bukan drama, tapi solusi yang konkret dan sistematis,” tambahnya.
Sejarah pernah mencatat bagaimana kekuasaan bisa dihentikan hanya karena konflik internal—seperti ketika Hindia Belanda menutup Kesultanan Banjar tahun 1860. Tapi masa itu adalah masa kolonial. Apakah kini kita ingin mengulang cara-cara represif terhadap diri kita sendiri, dalam negara yang katanya demokratis dan berorientasi pada pelayanan?
Ebi